Kisah Abu Ayyub Al Anshori dan Penaklukan Konstatinopel
Abu Ayyub Al Anshori adalah sahabat yang rumahnya terpilih untuk ditinggali Rasulullah saat berhijrah ke Madinah. Persahabatan Abu Ayyub Al Anshori dengan Nabi berlangsung hingga beliau berjihad bersama Nabi, bepergian bersama Nabi sampai akhirnya Nabi wafat. Semasa zaman kekhalifahan Abu Bakar, Abu Ayyub adalah sahabat yang memiliki semangat berjihad, semangat tadhiyah-nya (pengorbanan) juga tidak pernah berhenti. Begitu pula pada era Umar Bin Khattab, semangat jihad dan tadhiyahnya tidak surut meskipun usia beliau bertambah. Beliau mendapat rizki berupa umur yang panjang hingga masa kekhalifahan Utsman Bin Affan. Ketika persiapan tentara untuk menyerang Romawi Timur, Beliau yang saat itu berumur 85 tahun pun ikut mendaftar berjihad. Ketika itu anak-anaknya mencoba menghalangi beliau: “Wahai Bapak, bukankah engkau telah berjihad bersama Nabi, bersama Abu Bakar, bersama Umar, dan usiamu sekarang sudah tua, sudah renta, sekarang giliran kamilah anak-anak Bapak ini yang akan ke medan jihad. Engkau juga sudah ada udzur syar’i. Karena sudah tua, ada udzur syar’i untuk tidak pergi berjihad. Jawaban Abu Ayyub sambil berdalil “ Anak-anakku, ketika Allah berfirman ‘Infiruu Khifaafan wa tsiqoolan…’ berangkatlah kalian khilaf (dalam keadaan ringan) wa tsiqoolan (atau dalam keadaan berat). Ketika Allah memerintahkan kita infiruu, kan tidak membedakan siapa muda siapa tua, tidak membedakan yang bekalnya banyak atau yang tidak punya bekal. Jadi kalian berangkatlah, Bapak juga berangkat.” Walaupun berusia 85 tahun semangatnya tidak surut.
Jika kita berkunjung ke Turki, di dinding Aya Sofia tertulis hadits yang disampaikan Nabi ketika sedang menggali parit dalam peristiwa Perang Khandaq, “Romawi akan kalah…”, saat itu Nabi mengatakan, “Latuftahannal Qusthontiniyyah” (Konstantinopel pasti akan ditaklukan), falani’mal amiru amiruuha (maka sebaik-baik pemimpin adalah yang menaklukkan Konstantinopel), walani’mal jaisu dzalikal jais (dan sebaik-baik tentara adalah tentara yang waktu itu menaklukan Konstantinopel”. Nabi mengatakan ini pada tahun 627, namun baru terbukti pada tahun 1453, sekian abad setelahnya.
Apa kaitannya dengan Abu Ayyub? Begitu Nabi mengatakan hadits ini, hampir semua sahabat yang mendengar Nabi menyiapkan bala tentara menyerang Romawi Timur, ikut bergabung. Tujuannya apa? Agar mereka termasuk dalam hadits ini, berharap Romawi takluk dan pada saat itu mereka masuk ke dalam pasukan tersebut, kalau tidak sebagai pemimpin pasukan (amir) ya sebagai pasukan (jais), dan ini (karena sebaik-baik pasukan atau sebaik-baik pemimpin) dijamin masuk surga. Saat Nabi wafat, Konstantinopel belum takluk, karena tentara pertama yang saat itu dipimpin Usamah tidak sampai ke sana. Khalifah Abu Bakar menyiapkan tentara lagi, semua sahabat yang mendaftar, namun belum berhasil menaklukkan Konstantinopel. Khalifah Umar Bin Khattab menyerang lagi, tapi juga belum berhasil.
Semua khalifah di setiap abad pasti menyiapkan bala tentara untuk menaklukkan Komstantinopel, namun seluruhnya belum berhasil. Semua sahabat ikut dengan semangat yang sama, agar termasuk dalam hadits ini. Salah satu sahabat itu adalah Abu Ayyub Al Anshori, beliau ikut dengan semua pertempuran. Bagi yang pernah berkunjung ke Istambul, makam sahabat Abu Ayyub Al Anshori tidak jauh dari dinding Konstantinopel yang disebelahnya ada Masjid Sulthan Ayyub. Jadi jika ada pertanyaan siapa nama sahabat yang dimakamkan di Eropa jawabannya adalah Abu Ayyub Al Anshori. Ketika beliau wafat, konstantinopel memang belum dapat ditaklukkan, meskipun sudah menyerang benteng dan ada di dekatnya. Ada satu peristiwa ketika benteng tersebut dikepung berhari-hari, muncul sebuah usul: “Kita akan bisa masuk benteng itu dengan senjata manjani (alat pelontar), namun pelurunya jangan peluru mati, harus manusia, sehingga saat sudah terlontarkan masuk, dapat mendobrak pintu benteng (dari dalam), sehingga pasukan bisa masuk. Hanya itu cara agar kita bisa masuk. Masalahnya siapa orang yang mau dipakai sebagai peluru hidup? “ saat itulah Abu Ayyub mengajukan diri. Para sahabat yang lain mengingatkan bab usia beliau, apa kata beliau: “Kalaupun nanti saya dilempar dan tidak sampai ke sana, setidak-tidaknya saya sudah memberi contoh kepada anak-anak muda, inilah jihad itu.” Kelak ketika penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad Al Fatih dan sempat mengalami kebuntuan maka, sosok Abu Ayyub Al Anshori ini menjadi penggugah semangat sehingga muncullah strategi luar biasa yang kemudian menghantarkan pada kemenangan spektakuler. Begitulah pelajaran dari sahabat Abu Ayyub ini, bahwa yang tua tidak akan pernah surut dalam jihad, minimal yang tua dapat memberi contoh.
Jika mengaitkannya tentang tarbiyatul aulad (pendidikan anak), maka kita dapat melihat bagaimana tarbiyah (pendidikan) kita dahulu. Apakah kita dapat dijadikan contoh atau kah tidak. Tarbiyah bapak dan ibu harus diperbaiki dahulu baru kemudian menjadi contoh bagi sang anak dan dapat menjadi sumber inspirasi bagi sang anak. Minimal kita menampakkan wajah nikmatnya berdakwah di depan anak-anak kita. Sepulang dari ‘mengaji ‘, usahakan wajah kita menyenangkan jika dilihat anak kita, berarti anak kita dapat inspirasi bahwa ‘mengaji’ itu menyenangkan. Yang tidak baik jika sepulang ‘mengaji’ dalam kondisi payah atau pulang dauroh (training) dalam kondisi wajah masam, anak akan dapat kesan: ternyata mengikuti bapak itu tidak enak, capek. Kembali kita mendapat inspirasi dari Abu Ayyub Al Anshori minimal bagi kita yang sudah memiliki senioritas dalam usia dapat memberikan contoh kepada yang muda-muda bahwa semangat jihad ini tidak boleh luntur.
Perintah Menjaga Diri dan Keluarga
“Wahai orang-orang yang beriman, jaga dirimu dan keluargamu dari neraka”
Inilah “manhaj tarbiyah” kita, inilah “jalan pendidikan” kita, artinya: jangan sampai anak-anak kita masuk neraka (na’udzubillah) gara-gara kita lalai menjaganya. Perintah tersebut artinya yang diberi amanah oleh Allah untuk menjadi penjaga dan menjadi pengawal adalah kita, terutama dalam ayat ini secara langsung adalah para suami. Bagaimana kita menterjemahkan “menjaga” itu ? Jika kita lengah atau abai, kita kemudian akan terperosok ke dalam neraka. Maka Harus ada upaya untuk menutup “lubang-lubang” agar tidak terperosok. Jaga makanan dan minuman anak kita dengan yang halal, pastikan yang dikonsumsi anak kita adalah hal yang halal. Itulah menjaga. Kita melindungi, menjaga dan menjauhkan dari lingkungan yang tidak baik, yang berpengaruh negatif kepada keluarga kita, itu bagian dari menjaga. Menempatkan anak-anak kita di tempat/sekolah/perumahan/tempat tinggal yang kondusif bagi akhlaqnya dan menjaga ibadahnya juga bagian dari menjaga dari api neraka. Yang akan ditanyai oleh Allah di akkherat nanti perihal anak-anak kita bukan kepala sekolah, bukan murobbi atau guru anak-anak kita, tetapi kita selaku orang-tua anak kita. Karena ayat tersebut berbicara kepada kita.
Dalam sebuah hadits “setiap bayi yang terlahir itu semuanya lahir dalam keadaan fithrah. Bapak-ibunyalah yang bertanggungjawab di dunia dan akherat kalau nanti anaknya yang fithrah itu menjadi yahudi, nashrani atau majusi. Jadi sebab utamanya adalah bapak – ibunya, jangan menyalahkan siapa-siapa. Maka terkait dengna ayat di atas, bayi lahir dalam keadaan fitrah, bapak ibunya wajib menjaga tetap fitrah, insya Allah tidak mungkin menjadi seperti yahudi , nasrani atau majusi. Tidak berarti hal ini masalah pindah agama semata, namun perilakunya sama dengan yahudi, nasrani atau majusi. Jangan sampai seorang anak muslim perilakunya sama dengan anak yahudi. Jadi fungsi penjagaan ini ada pada Bapak Ibu.
Bapak atau ibu
Tanggung jawab pendidikan anak ada pada puncak kedua orang tuanya. Namun jika kita detilkan lagi, pada bapaknya atau ibunya? Kalau yang ditanya bapak, maka sang bapak akan menjawab “ ya tanggungjawab ibunya”, sebaliknya ibu akan menjawab “ya tanggungjawab bapaknya”. Bukannya membela salah satu pihak, namun jika kita perhatikan, dialog di dalam Al Quran yang melibatkan orang tua dan anak semua dengan bapaknya. Tidak ada yang dengan ibunya. Ini bukan persoalan setuju tidak setuju cocok atau tidak cocok, tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan ibu dengan anaknya dalam hal dialog kependidikan, pasti dengan bapaknya. Lihatlah percakapan antara Ibrahim dengan Ismail, adalah dialog antara bapak dengan anak: ketika akan penyembelihan dan ketika membangun ka’bah. Memang ada kisah Hajar dan Sarah namun tidak berdialog dengan Ismail. Kisah Luqman dengan anaknya, bahkan istri Lukman tidak disebutkan. Nasehat Luqman kepada anaknya sangat panjang, hampir sehalaman penuh di dalam Al Quran surat Luqman. Kisah Imran yang juga seorang bapak. Jika diambil sebagai sebuah pelajaran, maka Al Quran mengingatkan dengan berbagai contoh bahwa bapak harus memperbanyak dialog dan menjadi contoh. Memang ada masanya orang tua menjadi teman. Kalau kita mengambil pelajaran pendidikan anak dari buku pendidikan Nabi, usia 0 – 7 tahun anak dianggap sebagai raja, semua dituruti, usia 7 – 14 tahun anak sebagai tawanan perang, semua harus diatur, mulai dikenalkan dengan disiplin, dan usia 14-21 tahun anak menjadi kawan, dan semua perlu didampingi. Jadi yang bertanggungjawab dan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di akherat terkait perlaku anak adalah kedua orang tuanya.
Pelajaran dari Ummu Sulaim saat menitipkan Anas Bin Malik
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, berkata: “ketika RAsulullah datang di Madinah, Ummu Sulaim membawaku kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, kemudian dia memberiku salah satu dari pakaiannya lalu (Ummu Sulaim) datang kepada Rasulullah dan berkata “wahai rasulullah, ini Anas , dia anak yang rajin dan pekerja keras yang akan membantumu. Nabi bersabda, “ Ya Allah perbanyaklah harta dan anaknya, berkahilah ia dalam semua yang Engkau berikan kepadanya.” (HR. Bukhari).
Hadits ini memberikan gambaran kepada kita tentang orang tua yang karena kesadaran akan pentingnya tarbiyah untuk anaknya, hadir menitipkan puteranya untuk ditarbiyah (dididik/dibina), orang tua membangun komunikasi yang baik dengan guru/murabbi putera-puterinya, demikian juga sebaliknya guru/murabbi juga dengan suka cita menerima binaannya dan menyambut dengan doa yang demikian luar biasa.
Demikianlah pelajaran yang kita dapat mengenai pendidikan anak.
Disarikan dari Taujih Ustd. Faridh Dhofir, Lc